Merantau + MAKAN..MAKAN…

May 12, 2009

Pernah dengar lagu-nya Koes Plus yang judulnya “Kolam Susu”? Liriknya ada yang ngomong gini:

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman 

Lagu ini memang bicara tentang tanah Indonesia yang subur dan kaya. Makanya waktu itu penjajah kita betah betul deh tinggal di Indonesia. Bicara tentang tanah Indonesia yang subur dan kaya juga nggak lepas dari makanan khas Indonesia yang kaya rempah dan bumbu. Dari Sabang sampai Merauke, masing-masing daerahnya saja punya makanan khas sendiri-sendiri. Dan saya, yang lahir di Indonesia ini, tidak bisa hidup tanpa makanan Indonesia – yang berarti berbumbu banyak itu. Plus, selain itu, saya juga tidak bisa hidup tanpa sambal. Bukan sambal botol, tapi sambal terasi yang super pedas, dan kalau bisa.. semuanya mentah.

Ketika saya berangkat ke Melbourne, saya membawa cobek dan ABON. Untuk abon ini saya punya cerita lucu. Sekedar informasi, border security-nya bandara di Melbourne lumayan ketat. Waktu itu koper yang berisikan abon dicek oleh petugas – seorang wanita kulit putih, tinggi besar dan pirang. Dia bertanya: “What’s this?” Nah, ga mungkin kan saya jawab: “Abon, ma’am.” Saya jawab itu makanan yang dibuat dari daging sapi. Sedetik kemudian saya menyesal kenapa saya harus ngomong kalau abon itu berasal dari daging sapi. Karena apa? Karena setelah saya ngomong begitu, si petugas langsung mengambil sarung tangan plastik, mengaduk-aduknya dan mengendus baunya. Buset, pikir saya. Mana bisa dimakan lagi itu abon? 

Memasak adalah hal yang perlu dilakukan disitu jika ingin berhemat. Dan memasaknya pun jika betul-betul ingin berhemat, kalau boleh saya sarankan, janganlah memasak masakan Indonesia. Kenapa? Karena bumbunya banyak dan disitu HARGANYA MAHAL.

Kalau saya bilang mahal, itu berarti saya kurskan dengan rupiah. Pernah suatu hari, saya kepengen makan sambal saja dengan mentimun. Pergilah saya ke supermarket terdekat. Tapi yang namanya mentimun itu, satu bijinya seharga AU $ 1,95. Yang kalau dikurskan rupiah jadi Rp 13,650 (dengan kurs AU $ 1 = Rp 7,000). Kadang-kadang saya bisa dapat mentimun dengan harga AU$ 0.99, tapi harus menerima kalau kulitnya sudah sedikit berkeriput. Untuk cabe rawit, dijual 1 kg sekitar AU$ 13,95 (ampir seratus ribu rupiah tu!). Cabe yang biasa satu pak-nya seharga AU$ 4,95. Di supermarket situ, harga sewaktu-waktu bisa berubah. Sedangkan terasinya, saya bawa khusus dari Indonesia dan untungnya tidak ikut diaduk-aduk oleh si petugas di border security. 

Itu baru bahan-bahan untuk bikin sambal terasi dan mentimunnya saja. Saya pernah kepengen bikin sayur bening yang salah satu bahannya adalah: KUNCI. Kunci?? Apa bahasa inggrisnya kunci? Key? Kalau itu kan untuk bukain pintu yah? Karena nggak nemu, akhirnya batal bikin sayur bening, padahal sudah ngiler. Bawang merah juga sulit dicari, belum tentu di supermarket dekat tempat tinggal saya ada. Yang lebih sering ada tentu saja bawang putih dan bawang Bombay.

Suatu hari saya kepengen tempe goreng. Hmm.. makanan yang murah meriah bukan? Tapi rupanya tidak di Melbourne. Setelah cari tahu kemana tempe harus dibeli, saya baru ngeh kalau bahasa inggrisnya tempe adalah: soybean cake. Keren begete yah namanya kalau diinggrisin? Saya beli tempe ini di supermarket Indonesia (yang artinya jual barang-barang dari Indonesia). 

Tapi yang namanya tempe itu.. ajubileh.. kecil bukan main. Seingat saya, kalau saya beli di pasar tradisional di Surabaya, yang namanya tempe tu, segepok gitu cuma dua ribu perak ajah. Paling banter tiga ribu deh. Nah yang ini? Enggak sampe segepok kayak yang dijual di pasar tradisional Indo tuh harganya AU$ 4,95! Kok mahal yah? Gak jadi makanan yang murah meriah dong?

Tapi Tuhan memang baik. DilihatNya saya tak bisa bertahan tanpa makanan Indonesia, saya dikasi pekerjaan di restoran Indonesia. Restoran ini dulunya pernah buka di TP, yang punya juga orang Surabaya. Jadi restoran ini sedia makanan berupa: ayam penyet, tempet penyet, empal penyet, dan penyet-penyetan lainnya. Karena saya bekerja disitu dari jam 6 malem sampe jam 10 malem, saya dapat makan malam. 

Jadi hampir setiap hari saya bisa makan nasi ayam penyet – sambelnya udah diulegin, enak pula. Hehehe. Mau tahu harga ayam penyet di restoran ini? 
Ayam penyet $ 8.95
Empal penyet $ 8.95
Tempet penyet $ 7.95
Nasi putih $ 1.95
Sate ayam $ 9.95

Saya langsung mendelik melihat harga-harga di menu tersebut. Itu harga tahun 2006 loh, saya nggak tahu yang sekarang. Aje gile, anjrit *kata orang Jakarte ye?*, jan***, bajigur.. huahhhh.. dan untuk pertama kalinya saya merasa beruntung sekali tinggal di Indonesia yang makanannya kaya rasa, kaya bumbu dan bisa didapat dengan harga terjangkau.

Makanya saya langsung ingat lagunya Koes Plus. Karena saya setuju banget dengan apa yang mereka lagukan. Tanah kita, Indonesia, jelas subur, saking suburnya barangkali tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Sayangnya, tanah itu sekarang lebih banyak ditindih bangunan daripada ditanami pohon-pohon.

by Jessie

Leave a comment